Demo Blog

Kota Wali

by Manazati on Nov.22, 2009, under , , , ,


Melestarikan Tradisi Pemikiran Kota Wali


KabarIndonesia -

Sebuah proses pembangunan adalah cerminan keinginan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan sebuah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan dari hasil pembangunan sebaiknya tidak hanya perubahan secara fisik saja, melainkan juga tradisi pemikiran juga harus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Sebuah Tradisi pemikiran erat kaitanya dengan Nilai Budaya yang berkembang dalam masyarakat. Oleh sebab itu proses perkembangan Nilai Budaya tidak boleh terlewatkan dalam setiap proses pembangunan yang berlangsung. Sebab Nilai Budaya mempunyai hubungan interaksi manusia dengan lingkungan. Secara simple dapat digambarkan sebagai berikut :


NILAI BUDAYA - NORMA - POLA BERPIKIR (TRADISI PEMIKIRAN) - POLA TINDAKAN



Pelestarian sebuah sejarah tidaklah cukup hanya dengan merawat sebuah bangunan sebagai sebuah bukti fisik. Melewatkan sebuah Tradisi pemikiran dari sebuah alur Nilai Budaya berarti telah menghilangkan sebuah kerangka Tradisi pemikiran masa lampau, yang berakibat terpotongnya sebuah jalan pemikiran masa kini untuk menghasilkan sebuah Tradisi pemikiran yang maju dari Nilai Budaya masa lampau. Tradisi pemikiran Import bukanya tidak baik bagi sebuah masyarakat yang menerimanya. Tetapi haruslah perlu diingat bahwa sebuah Tradisi pemikiran selalu mengikutsertakan Nilai Budaya juga yang seringkali masyarakat belum mampu menerimanya. Jadi sebuah Tradisi pemikiran harus selalu dilestarikan mengingat sebuah Nilai Budaya adalah bapak kandung dari Tradisi pemikiran.


Melestarikan bangunan sejarah tanpa memikirkan pelestarian sebuah Tradisi pemikiran ibarat bentuk bangunan yang berdiri tetapi tidak memiliki isi atau sama saja dengan gudang padi yang tidak berisi. Pelestarian harus dilakukan secara bersama-sama dan saling melengkapi. Jika salah satu dilupakan akan mengakibatkan kehilangan keseimbangan pemahaman bagi generasi selanjutnya. Sebuah Tradisi pemikiran jika tidak ditunjang dengan bukti-bukti fisik hanya akan melahirkan sebuah dongeng, sedangkan pelestarian bangunan sejarah tanpa pelestarian Tradisi pemikiran hanya akan melahirkan Mitos-motos yang jauh dari pemikiran Rasionalitas. Selama ini Kota Wali Demak hanyalah menjadi sebuah monumen sejarah tentang kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1418m/1403 Th soko dengan ditandai Sinengkelan"GENI MATI SINIRAM JANMI". Peninggalan sejarah di kota Wali Demak yang masih mendapatkan perhatian masyarakat adalah Masjid Agung Demak,Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Tetapi sayangnya sampai saat ini Tradisi pemikiran yang berasal dari Nilai Budaya Agung masa lalu terlindas oleh kebesaran bangunan Masjid Agung, Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Para Pengunjung wisata Religius di kota Wali Demak, baik yang berasal dari Demak sendiri maupun dari luar Demak atau bahkan luar negeri pada akhirnya hanya menjumpai Mitos-mitos yang banyak beredar disekitar bangunan Masjid dan Makam. Pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi setelah berkunjung di Masjid Agung Demak, Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga akhirnya menjadi sebuah Tradisi pemikiran baru yang tidak berinduk dari Nilai Budaya agung masa lalu. Sehingga Tradis Pemikiran ini sangat jauh dari Rasionalitas. Mungkin, karena perhitungan PAD yang membutuhkan kalkulasi yang tepat untuk pembangunan menjadi sebuah hambatan dalam penggalian Tradisi pemikiran di kota Wali Demak Hal ini tentu sangat dimaklumi mengingat menggali sebuah Tradisi pemikiran secara kuantitative susah sekali dijelaskan hasilnya. Tetapi dengan melihat kondisi Indonesia sekarang ini yang mengalami degradasi dalam memahami pluralisme, Tradis pemikiran dari kota Wali Demak sangat penting menjadi perhatian..Tradisi pemikiran yang Agung dari kota Wali dimulai dengan Akulturasi kebudayaan, sehingga orang-orang yang memiliki tradisi-tradisi yang lama merasa tidak terpaksa dalam merubah pola pikir mereka. Pendekatan kekuasaan sengaja dihindari mengingat para ulama sufi abad ke-16 yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Tanah Jawa pada saat itu memang jauh dari tradisi kekuasaan. Para Wali Tanah Jawa berusaha membangun sebuah nilai budaya baru dalam Syiar agama. Mereka memulai dengan merangkak dari daerah pesisir pantai dengan menciptakan lingkungan budaya baru yang berpusat di Pesantren.


Para Wali Tanah Jawa dalam melakukan Syiar agama memperlakukan dua Kutub Kebudayaan yang ada dengan perlakuan yang berbeda. Lingkungan Kebudayaan luar Istana mayoritas berisikan kaum tani yang masih berpegang sangat erat dengan Adat istiadat Animisme dan Dinamisme didekati dengan pendekatan-pendekatan visual mengingat Tradisi lisan sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Pertunjukan-pertunjukan kesenian yang dilakukan oleh Lingkungan Kebudayaan luar Istana secara perlahan-lahan dimasukan ajaran-ajaran Islam. Peran Seorang Kanjeng sunan Kalijaga sebagai seorang yang memahami benar Psikologi Massa pada zaman itu menjadikan kebudayaan menjadi panglima terdepan dalam menyampaikan sebuah Syiar beragama. Beliau memasuki Seni Pewayangan sebagai hiburan massal yang paling populer pada saat itu. Dengan merekayasa cerita dengan memasukan Jimat Kalimasada (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan amarta (Pandawa).


Sedangkan Kebudayaan dalam Istana yang telah mengenal Tradisi tulisan secara baik ditembus dengan mempelajari Seni Sastra Istana. Syiar dimulai dengan memasukan ajaran Islam dalam sastra Istana. Berbagai macam suluk, wirid dan Primbon bersumber dari Tradisi Pesantren. Setelah dinilai cukup dalam membangun nilai Budaya baru dan melihat realitas yang ada para wali Tanah Jawa ikut mendukung berdirinya sebuah kerajaan Islam Demak. Sedangkan upaya menyatukan nilai Budaya antara lingkungan Istana dan lingkungan di luar Istana ditempuh dengan cara menjaga stabilitas Sosial, Budaya dan Politik untuk mengeliminasi Konflik-konflik. Maka pada zaman Kerajaan Demak bermunculan upacara-upacara keagamaan seperti Sekaten, Greebeg Maulud, Grebeg Hari Raya Haji dan lain-lain. Upacara-upacara keagamaan ini sebagai sarana baik yang bersifat Struktural maupun Kultural demi terciptanya Syiar Islam. Upacara-upacara keagamaan ini secara lahiriah adalah Tradisi kejawen yang diIslamkan.Tradisi pemikiran dari para wali yang berasal dari Akulturasi mulai sedukit demi sedikit menghilang tatkala para wali tergoda berperan dalam kekuasaan dengan melupakan perannya sebagai penyeimbang Kebudayaan sekaligus penyeimbang Tradisi pemikiran.


Konflik-konflik Internal antara para Wali songo dengan Syeh Siti Jenar sebagaimana diceritakan dalam Suluk Malang menandai pertarungan yang diselesaikan dengan power kekuasaan. Pertarungan antara Ahli Syariat dan Ahli Ma'rifat ini berakhir dengan tragis, dengan dibantainya Syeh Siti Jenar oleh para Wali Songo dengan Back Up penuh Sultan Patah sebagai penguasa Kerajaan Demak.


Puncaknya, para Wali terjebak dalam dukung mendukung suksesi yang melibatkan para Wali untuk berhadapa-hadapan secara langsung. Sepeninggal Sultan Trenggono pada tahun 1546 M para Wali memiliki kandidat yang berbeda-beda sebagai pengisi Tahta yang telah kosong. Sunan Giri memilih Prawoto, Sunan kudus memilih Arya Penangsang dan sunan Kalijaga memilih Jaka Tingkir. Drama dukung mendukung ini benar-benar menyita energi yang cukup besar sehingga melupakan sebuah Nilai Budaya dan sebuah Trdisi pemikiran yang masih belum sempurna yaitu Format Kebudayaan dan Tradisi pemikiran dalam lingkup kekuasaan. Dimana sikap seorang Ulama jika kekuasan telah berada dalam pengaruhnya. Kemenangan Jaka Tingkir mengakibatkan kehancuran Kerajaan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang pada tahun 1560 M dan setelah itu dipindah ke Mataram. Dari mataram inilah peran Ulama sebagai penyeimbang kebudayaan maupun Tradisi pemikiran semakin menghilang, bahkan peran para ulama mulai ditinggalkan dalam setiap setiap kebijaksanaan pemerintahan. Dukungan dari Dewi laut selatan (kanjeng Ratu Kidul atau Nyai lara Kidul) dan Gunung Merapi menjadi pelindung khusus kerajaan mataram sekaligus membentuk Nilai Budaya baru sekaligus Tradisi pemikiran baru. Pendominasian-pendominasian Nilai Budaya serta Tradisi pemikiran menjadi sebuah syarat mutlak bagi kerajaan mataram, kekuasan dengan dengan Trah baru membutuhkan suatu Energi legitamasi yang cukup besar. Dan peran Ulama bisa dianggap sebagai penghambat dalam melakukan pendominasian-pendominsian ini. Legitamasi Kerajaan harus terkuat, cahanya harus terang tidak boleh ada yang menyamainya. Konflik-konflik antara para ulama dan penguasa Mataram sudah dimulai sejak zaman Panembahan Senopati dan pada masa Amangkurat I terjadi pembantaian besar-besaran Ulama karena sebuah alasan Politik.Walaupun telah dicoba oleh fihak-fihak Istana untuk memasukan Kebudayaan Islam dalam berbagai Karya Sastra tetapi para Ulama menanggapinya dengan dingin. Kerajaan Mataram yang semakin memudar, menyempitnya kesempatan berpolitik seiring dengan pendominasian oleh VOC adalah sebuah alasan yang utama dari kalangan elite Istana untuk mengalihkan perhatian kebidang sastra dan budaya. Jadi hubungan antara Kerajaan Demak dengan Pajang ataupun Mataram adalah hubungan tranformasi Kekuasaan dan bukan merupakan Tranformasi Tradisi Pemikiran apalagi Transformasi Nilai Kebudayaan. Sebuah Nilai Kebudayaan ataupun Tradisi Pemikiran dari Para Wali tanah Jawa pada akhirnya menghilang tatkala mereka terprosok dalam lingkungan kekuasaan yang mempunyai Tradisi pemikiran yang Pragmatis.


Tradisi Pemikiran para Wali Tanah Jawa pada era sekarang ini mungkin hanya dapat dihidupkan kembali oleh para ahli warisnya yaitu Pondok Pesantren. Pondok Pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan respons terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Walaupun tentunya Tradisi Pemikiran yang dibangun oleh Pondok Pesantren sekarang ini jauh lebih rumit. Tetapi bukan tidak mungkin akan melebihi kebesaran pemikiran para Wali pada abad-abad terdahulu. Tantangan terbesar sekarang ini dalam mengaktualisasikan Tradisi Pemikiran para Wali Tanah Jawa adalah sama seperti godaan para Wali pada zaman dahulu yaitu kekuasaan. Walaupun kekuasaan mempunya tujuan untuk lebih mempercepat diterimanya sebuah sebuah Nilai Budaya dan pemikiran kepada masyarakat tetapi mempunyai sebuah resiko keterasingan. Sebab kekuasaan mempunyai batas-batas yang jelas dan membutuhkan pendomonasian-pendominasian sehingga menghambat proses Akulturasi kebudayaan dan pengembangan Tradisi pemikiran dalam sebuah masyarakat yang Pluralistik.


Tahap perkembangan Era Agraris ke Era Industrialisasi tentu melahirkan sebuah Nilai Budaya baru dan Tradisi Pemikiran yang baru. Kedudukan kekuasaan yang lahir dari sebuah proses Demokrasi tentunya juga melahirkan Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran yang baru juga. Pondok Pesantren harus menjadi sebuah jembatan kedua Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran yang baru secara Kontekstual dinamis. Keseimbangan ini harus dijaga agar tidak terjadi pendominsian-pendominasian yang merugikan masyarakat. Sebuah Kerajaan besar di Demak pernah berdiri dengan sebuah pendekatan kebudayaan oleh para Wali. Berdirinya kerajaan Demak Bintoro adalah tak lepas dari jasa Wali Tanah Jawa. Kerangka berpikir tentang sebuah Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran telah diwariskan oleh para wali tanah Jawa. Walaupun kesimpulan yang diambil para Wali setelah kekuasaan berada dalam genggaman menimbulkan keruntuhan kerajaan Demak. Inilah pelajaran sejarah yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya untuk lebih memahami Pluralisme dalam lingkup kekuasaan. Kita dapat lebih rasonalitas dalam memahami sepak terjang seorang wali Sekalipun. Bahkan dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Wali tanah Jawa yang besar jasanya, kita harus berani mengatakan bahwa Keruntuhan Kerajaan demak adalah Kesalahan Para wali Tanah Jawa yang tergoda oleh Cahaya kekuasaan.Semoga saja sebuah Simbol Akulturasi Kebudayaan di Kota Wali Demak yang masih tersisa yaitu Grebeg Idul adha dapat menjadi sebuah jembatan antara Kebudayaan dan Tradisi Pemikiran dalam lingkungan Pemerintah dan diluar Pemerintah. Sehingga apa yang diperoleh masyarakat buka hanya sebuah monument sejarah perjuangan para Wali tanah Jawa atau hanya sekedar upacara penjamasan Kutang ontokusumo dan Keris Kyai Crubuk, apalagi Tansaksi-transaksi ekonomi yang berujung pada kalkulasi Pendapatan Asli Daerah.

Demak.




DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Imron Abu Bakar, SEJARAH RINGKAS KERAJAAN DEMAK, Menara Kudus 1996 KUMPULAN ESAI, ILMU BUDAYA DASAR, Usaha Nasinal 1983 Dr. Nurcholis Majid, BILIK-BILIK PESANTREN SEBAUH POTRET PERJALANA, Paramadina 1997Purwadi, BABAT TANAH JAWA, MENELUSURI JEJAK KONFLIK, Pustaka Alif 2001M.C.Rickleft, SEJARAH INDONESIA MODERN, Serambi April 2005


Dikutip :

Moch Arif Makruf 18-Jan-2009, 17:15:09 WIB -
[www.kabarindonesia.com]
2 komentar more...

Masjid Tertua di Jawa

by Manazati on Nov.22, 2009, under , , , , ,






Masjid Agung Demak


Awal Pembangunan Masjid Demak

Menurut Babad Demak tulisan Atmo darminto, tahun 1477 M / 1399 S dengan candra sengkala ‘Kori/Lawang Trus Gunaning Janmi’, tahun ini merupakan tahun pembuatan Masjid Agung Demak. Pendapat itu benar karena pada saat itu Adipati Anom Fattah membuat masjid kadipaten yang ukurannya lebih luas dari Masjid Glagahwangi agar daya tampung jamaah mencukupi. Masjid kadipaten rencananya didirikan di sawah Mendung Mangunjiwan mengingat lokasi pesantren di Mangunjiwan.

Sunan Kalijaga ditugaskan menjadi Arsitek masjid kadipaten agar proses pembangunannya berjalan dengan baik. Sebagai acuan para tukang membuat masjid yang sebenarnya maka Sunan Kalijaga membuat maket masjid kadipaten. Kemudian rencana pembangunan masjid yang disawah mendung dipindahkan ketempat yang sekarang di dekat alun-alun Demak, hal ini karena kemungkinan sebagai berikut :
- Daerah sawah Mendung Mangunjiwan kurang tinggi dan rawan banjir
- Tempat penggantinya diusulkan oleh Raden Fattah ditempat beliau menemukan serumpun glagah berbau wangi sebagai tetenger (monumental). Tempat pengimaman tepat sesuai letak ditemukannya serumpun Glagahwangi.

Pembangunan masjid kadipaten ini sempat terhenti pada saat Raden Fattah yang telah menjabat sebagai Adipati Bintoro, mendengar jatuhnya kerajaan Majapahit atas penyerangan Raja Kediri Prabu Ranawijaya Girindrawardhana serta kabar hilangnya ayahanda Prabu Brawijaya V yang tidak diketahui nasibnya. Tanpa fakir panjang Raden Fattah mempersiapkan diri menyusun kekuatan yang ada untuk menyerang Majapahit yang berakhir dengan kekalahan Pasukan Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, walaupun benar-benar merepotkan kekuatan Majapahit.


Melanjutkan Pembangunan Masjid Kadipaten Demak

Raden Fattah dan Para Wali melanjutkan pembangunan Masjid Agung Kadipaten Bontoroyang telah dimulai pada tahun 1477 M dan selesai pada tahun 1479 M / 1401 S, dengan ditandai Sengkala memet / gambar dengan bentuk Bulus. Kerata basa ‘Bulus’ yaitu ‘Yen mlebu kudu Alus’ artinya, siapapun yang masuk ke masjid untuk beribadah, harus halus lahir batinnya, tawadlu’ (merendahkan diri dihadapan Allah SWT). Juga mengandung makna bahwa Raden Fattah sedang prihatin/ memet/ mumet karena kerajaan ayahnya direbut Girindrawardhana dan gagal merebut kembali bahkan Sunan Ngudung gugur. Kemudian sesuai saran wali, diharapkan melanjutkan membangun masjid terlebih dahulu sambil melihat situasi dan kondisi. Ini mirip beladiri bulus yang menyembunyikan kepalanya bila dalam keadaan genting sambil melihat saat yang tepat untuk menyerang musuh. Namun Raden Fattah mengajukan syarat Mustaka Masjid yang akan dibuat nanti bentuknya runcing mirip angka 1(satu) Arab/ahad. Persyaratan itu sebagai lambing kejantanan bahwa Demak berani menghadapi pasukan Majapahit yang dikuasai Girindrawardhana. Juga mengandung pelajaran Tauhid bahwa Tuhan Allah itu Maha Esa.

Satu contoh kerukunan dan keikhlasan yang perlu ditauladani pada saat pembangunan Masjid Agung Demak adalah para Wali sampai kawula alit (rakyat kecil) terlihat ikut mengeluarkan jariyah berupa tenaga, pikiran dan materi sampai pembangunan Masjid Agung Demak selesai.






Deskripsi


Masjid tua ini memiliki struktur bangunan dengan nilai historis yang tinggi, dengan seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, memesona, dan berwibawa. Atapnya berbentuk limas piramida, bertingkat tiga susun, mirip bangunan kayu peninggalan Hindu dan Budha. Tiga susun atap ini dimaknai para wali sebagai aqidah Islamiyah yang terdiri dari Iman, Islam, dan Ihsan. Bangunan puncak dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi hanyalah milik Allah. Uniknya, masjid yang sekilas tampak seperti kerucut raksasa itu ternyata terdiri dari tiga lantai. Lantai utama merupakan altar masjid yang tiap hari digunakan jamaah untuk kegiatan rutin keagamaan, lantai kedua merupakan rangka eternit yang lantainya dibuat dari kayu jati asli sejak zaman para wali. Lantai ketiga adalah puncak kubus yang menjadi penyangga kubah, dengan ruangan berukuran 6 x 6 meter2. Sayangnya, tak semua orang boleh naik hingga lantai dua dan tiga. Kedua lantai ini memang tertutup untuk umum, demi kepentingan perawatan dan keamanan bangunan yang usianya sudah sangat tua tersebut. Bangunan di bawahnya berdinding segi empat dengan empat soko guru sebagai pertanda bahwa para wali merupakan penganut mazhab 4, salah satunya Mazhab Imam Syafi’i. Uniknya, konon setiap soko guru dengan tinggi 1.630 cm ini dipancangkan ke empat penjuru mata angin oleh para wali sendiri, dengan bagian Barat Laut didirikan Sunang Bonang, Barat Daya oleh Sunan Gunung Jati, bagian Tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang di Timur Laut karya Sunan Kalijaga. Masyarakat menyebut tiang buatan Sunan Kalijaga sebagai Soko Tatal. Pada serambi terdapat bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit, yang merupakan benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V. Di dekatnya terdapat pintu masjid tergambar petir yang dinamakan “Pintu Bledeg” bertuliskan “Condro Sengkolo” yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani” yang bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M. Pada dinding depan masjid menempel 66 keramik berwarna biru dan putih, konon merupakan peninggalan Kerajaan Champa yang dicuri dari Kerajaan Majapahit. Di dalam masjid terdapat mihrab dengan prasasti bergambar bulus, yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M, merupakan warisan dari zaman Majapahit yang disebut Dampar Kencono. Sedangkan bangunan yang dikhususkan bagi wanita untuk shalat berjamaah dinamakan Pawestren. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati dengan bentuk atap limas dari sirap kayu jati. Bangunan ini ditopang delapan tiang penyangga. Empat di antaranya berhias ukiran motif Majapahit, dibuat zaman KRMA Arya Purbaningrat sekitar tahun 1866 M. Begitu tingginya nilai historis dan arkeologis Masjid Agung Demak, maka para ahli yang tergabung dalam International Comission for the Preservation of Islamic Cultural Heritage yang meninjau masjid tersebut di tahun 1984 mengatakan bahwa Masjid Agung Demak merupakan salah satu di antara bangunan-bangunan Islam penting di Asia Tenggara dan dunia Islam pada umumnya


Daftar Pustaka:
Sejarah Demak – Matahari Terbit di Glagahwangi

(Drs. Muhammad Khafid Kasri, Pujo Semedi), Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak, 2008
http:\\ parbun.demakkab.go.id
http://alifmagz.com/wp/?p=732
0 komentar more...

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

Yuk, Bisnis PULSA... Daftar GRATIS disini:

Daftarkan BLOG anda disini:

Adsense Indonesia

Karna 'TAK KENAL MAKA TAK SAYANG' kiranya perlu saya mengenal anda. Silakan masukkan Email Anda

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

mBah Goggle Search