
Sejarah DEMAK - Kota WALI
by Manazati on Nov.22, 2009, under Demak, Islam, jawa, Kerajaan, Kota wali, Sejarah Demak, Sunan Kalijaga, wali, Wali Songo
( DEMAK KOTA WALI )

Pada masa perkembangan agama Islam di pulau Jawa, kegiatan religius diberi tempat sebagai bagian sentral dari kekuasaan, sebagai contoh pada kerajaan Demak, tata letak masjid yang sengaja didekatkan pada pusat kekuasaan dari kerajaan Demak. Dasar inilah yang mempengaruhi bentuk setting kawasan dari pusat kota-kota Islam di Jawa
Pengaruh budaya lokal (Hindu-Budha) pada penataan setting kawasan pada masa perkembangan agama Islam pada saat itu terlihat pada kecenderungan perletakaan antara makam dan masjid menjadi suatu komplek, sebenarnya agama Islam sendiri tidak mengajarkan manusia untuk menghormat kepada makam. Ini merupakan pengaruh budaya lokal pada setting kawasan yang ditafsirkan oleh Wali Sanga pada saat itu. Bahkan para Wali tersebut meminta untuk dikuburkan di dekat dengan masjid yang didirikannya, seperti makam dan masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu dapat digunakan sebagai contoh. Kaitan antara makam dan pusat peribadatan sebagai suatu tradisi ditunjukkan setelah kerajaan-kerajaan Islam-Jawa berdiri, dari Demak, Kudus, Jepara, sampai Jogjakarta dan Surakarta. Bahkan pada masjid Demak yang pada saat itu merupakan pusat pemerintahan juga menjadi satu dengan kompleks makam pada raja-raja Demak. Melihat peran dan letak masjid dalam perkembangan setting lingkungan di Jawa, bangunan ini menjadi suatu elemen struktur bagi pusat kota, dalam Wiryomartono, A Bagoes P, hal 10
Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu memiliki halun-halun, yang lebih dikenal dengan sebutan alun-alun. Sedangkan bentuk alun-alun yang selalu segi empat, berdasar dari alun-alun merupakan pusat orientasi spatial, yang terdiri dari empat unsur pembentuk keberadaan alam/ bhuwana : air, api, bumi, udara. (adat yang dianut oleh masyarakat Jawa). Dasar inilah yang kemudian diturunkan dalam tata ruang pada kawasan alun-alun.

(sumber : Solichin Salam, tahun 1960)
(sumber : Solichin Salam, tahun 1960)
Konservasi
by Manazati on Nov.22, 2009, under

Peraturan dan Undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan konservasi lingkungan/ bangunan bersejarah dibuat pada tahun 1882, dalam ‘Ancient Monuments Act’, diambil dari Dobby, A, 1978:5, dalam Sidharta & Eko Budihardjo, 1989:9 Di Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan bangunan kuno adalah UU No 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya. Awalnya konsep konservasi terbatas pada pelestarian monumen (lazim disebut ‘preservasi’). Konsep tersebut diimplementasikan dengan mengembalikan/ menjadikan monumen tersebut persis keadaan semula.
Dalam UU No 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, yang disebut sebagai monumen dalam peraturan ini adalah:
a. Benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat oleh manusia, bagian/ kelompok benda, dan sisa-sisanya yang berumur 50 tahun/ memiliki masa langgam minimal berumur 50 tahun serta mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.
b. Benda-benda yang mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi.
c. Situs yang berpetunjuk kuat bahwa di dalamnya terdapat benda yang dimaksud pada ad. a dan ad. b.”, diambil dari Monument Ordonantie Stbl 238/1931:1, dalam Sidharta & Eko Budihardjo, 1989:9
Dari peraturan diatas terlihat bahwa pusat perhatian lebih ditekankan pada peninggalan arkeologis. Di Indonesia bangunan akan dilindungi jika berusia lebih dari 50 tahun, ketentuan batas umur lebih dari 50 tahun, sebetulnya nenek moyang kita juga berpendapat “Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad” (kalau sudah lewat separuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan).Sasaran pelestarian umumnya meliputi dokumen tertulis, lukisan , patung, perabot, bangunan candi, keraton, benteng, gua. Konsep konservasi kemudian berkembang, tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda arkeologis saja tetapi juga lingkungan, taman, dan kota bersejarah.
PENGENALAN KONSERVASI
Batasan pengertian Konservasi (umum)Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian, sesuai kesepakatan internasional yang dirumuskan dalam Piagan Burra (1981), diambil dari The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance,1981:1, dalam Sidharta & Eko Budihardjo, 1989:9.
Beberapa batasan pengertian istilah-istilah dasar yang disepakati dalam Piagam Burra, adalah:
Konservasi : Segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Konservasi mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
Preservasi :Pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan. Kegiatan ini berusaha untuk mencegah penghancuran.
Restorasi/Rehabilitasi : Usaha pengembalian suatu tempat ke keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
Rekonstruksi : Usaha pengembalian suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru.
Adaptasi/Revitalisasi : Proses pengubahan suatu tempat agar dapat difungsikan dengan lebih baik. Yang dimaksud dengan fungsi yang lebih baik adalah pegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis atau hanya mempunyai sedikit dampak.
Demolisi : Penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau dianggap membahayakan, diambil dari The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance,1981:2, dalam Sidharta & Eko Budihardjo, 1989:9
KONSERVASI PADA TIAP ASPEK
Konservasi pada aspek artefak dan setting kawasanObjek dan lingkup konservasi suatu lingkungan digolongkan kedalam beberapa luasan berikut, diambil dari Kevin Lynch, 1960:46-90, dalam Sidharta & Eko Budihardjo, 1989:9 :
1. Satuan ArealSuatu areal dalam kota yang dapat berwujud sub-wilayah kota (bahkan keseluruhan kota). Satuan ini bisa berupa bagian tertentu kota yang dipandang mempunyai ciri-ciri/ nilai khas.
2. Satuan pandangan/ visual/ landscapeSatuan yang mempunyai arti fisik dan peran penting bagi suatu kota. Satuan ini berupa aspek visual, yang memberi image khas akan suatu lingkungan kota. Satuan ini mempunyai lima unsur pokok penting, yaitu, dalam Kevin Lynch, 1960 : - jalur (path)
- tepian (edges)
- kawasan (distric)
- pemusatan (nodes)
- tengeran (landmark)
Jaringan fungsional rute bersejarah termasuk dalam golongan ini.
3. Satuan FisikSatuan yang berwujud bangunan, kelompok bangunan/deretan bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk ruang umum atau dinding jalan. Satuan ini bisa diperinci sampai unsur-unsur bangunan, baik unsur fungsional, struktur atau entesis ornamental. Secara umum, daerah konservasi meliputi kota, desa, distrik, lingkungan perumahan, garis cakrawala wajah jalan dan bangunan.
Labels
..tanya mbah 'Google' disini
Kawulo

- Manazati
- Demak, Indonesia
- Saya pria, lulusan Teknik Arsitektur PTS di Semarang tahun 2005. Saya bodoh didunia studi yang saya geluti, namun karena kebodohan saya itu..saya jadi berniat lebih serius mempelajari budaya, nilai-nilai arsitektur bangsa sendiri, sebagai wujud penghargaan kawruh atas leluhur.
_____Javanese_____
Untuk persahabatan, klik 'follow'
Primbon
'Mampir ngombe.....'
Blog Archive
Links
Urun Rembug
|